A. Kedudukan Raja Dalam Konsep Kekuasaan Jawa
Sejak kebudayaan Hindu masuk dan berkembang di Indonesia, konsep kekuasaan Raja mulai dikenalkan di Nusantara ini. Konsep kekuasaan raja di Jawa dikembangkan dalam konsep kekuasaan Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi, dapat kita temukan gambaran apa dan siapakah raja sebagaimana dikemukakan oleh Pangeran Puger (Paku Buwono I). Segala sesuatu ditanah Jawa, bumi tempat kita hidup, air yang kita minum, rumput dan daun dan lain-lain yang ada di atas bumi adalah milik raja . Lebih lanjut Pangeran Puger menjelaskan bahwa raja adalah “warananing Allah” (wakil, proyeksi atau layar atau penjelmaan Tuhan). Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa raja memegang seluruh kekuasaan negara secara mutlak. Kekuasaan raja adalah proyeksi kekuasaan Allah, sehingga sudah sepantasnya bahwa sifat-sifat Allah yang lain sebagai serba kebaikan harus dapat dirasakan oleh manusia melalui rajanya tersebut.
Saat ini, di Jawa terdapat dua kerajaan utama yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Apabila dilihat dari kepala negara kedua kerajaan tersebut, maka akan timbul suatu perbedaan. Kepala negara kerajaan Yogyakarta bergelar Sultan, sedangkan kepala negara kerajaan Surakarta bergelar Susuhanan (Sultan). Ditinjau dari segi penelitian, Sultan yang berarti raja dan Susuhunan yang berarti disembah, keduanya memiliki kedudukan yang sama. Tetapi, karena Sultan merupakan gelar yang berasal dari Arab, maka gelar ini nampak lebih terhormat.
Kekuasaan raja menurut konsep Jawa adalah absolut (mutlak), yang dalam bahasa pedalangan dikatakan “gung binathara bau dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum, dan penguasa dunia). Dalam konsep kekuasaan Jawa tersebut, pemberian kekuasaan yang besar kepada raja diimbangi dengan ketentuan bahwa raja harus bijaksana. Seorang raja harus bersifat “berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta” (meluap budi luhur mulia dan sifat adilnya terhadap sesama). Selain itu, tugas raja adalah “anjaga tata titi tentreming praja”, yakni menjaga keteraturan dan ketentraman hidup rakyat demi tercapainya suasana “karta tuwin raharja” (aman dan sejahtera).
Konsep kekuasaan Jawa, disebut juga doktrin ajaran keagungan binatharaan. Apabila kekuasaan dan tugas raja yang termuat dalam ajaran tersebut dipraktekkan secara tepat, maka orang-orang tidak akan mempersoalkan kekuasaan raja yang besar itu pantas atau tidak. Bagi orang Jawa yang menganut konsep tersebut, tidak ada pilihan lain sikap yang harus diambil kecuali “ndherek ngarsa dalem” (terserah kehendak raja).
Seorang raja yang berkuasa, belum sepenuhnya yakin bahwa rakyatnya akan menaati segala perintahnya. Oleh karena itu perlu ditemukan hal-hal yang dapat mendukung kedudukan mulia dan kekuasaan besar yang dipegangnya. Hal-hal yang dapat mendukung kekuasaan dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain keajaiban yang terjadi misalnya, petir disiang hari yang cerah pada pemunculan raja yang pertama, atau restu dari para leluhur, misalnya Ratu Pantai Selatan Pelindung Surgawi dari Gunung Merapi dan Gunung Lawu atau leluhur lainnya.
Untuk lebih meyakinkan diri bahwa kedudukannya sah, sehingga aman dari ancaman, raja perlu menunjukkan pusaka yang ada padanya sebagai sumber kasekten (kesaktian) bagi dirinya dan kewibawaan bagi pemerintahannya. Bagi masyarakat Jawa, tidak dapat dipahami kalau seorang raja sampai tidak mempunyai pusaka. Karena tanpa pusaka, sulit bagi rakyat untuk mendukung (menjadi pengikutnya), sebab pusaka itu menjadi salah satu sumber kasekten raja. Dengan menguasai berbagai sumber kasekten, raja akan mampu mengumpulkan begitu banyak kasekten untuk mewujudkan kesejahteran rakyat yang menjadi kawulanya. Orang-orang Jawa beranggapan bahwa kanggonan pusaka (ketempatan pusaka) berarti kanggonan pangkat (untuk memperoleh kedudukan tinggi) dan kanggonan panguwasa (memegang kekuasaan). Demikian itulah gambaran tentang raja dimata orang Jawa, khususnya Mataram. Raja bukan lagi orang biasa, melainkan orang yang terpilih, orang yang unggul, orang yang derajatnya diatas orang kebanyakan atau pidak padarakan.
B. Kedudukan Rakyat Dalam Konsep Kekuasaan Jawa
Sebagaimana pernah disinggung sebelumnya, orang-orang Jawa yang menganut konsep kekuasaan Jawa tidak ada sikap lain yang harus diambil kecuali “ndherek ngarsa dalem” (terserah kehendak raja). Dalam masyarakat Jawa, dikenal adanya hubungan antara rakyat yang kawula dengan raja yang menjadi gusti dalam bentuk jumbuhing kawula-gusti (manunggalnya rakyat dan raja) . Hal tersebut sebenarnya merupakan pinjaman dari mistik agama, yang menunjuk kepada persatuan antara manusia dan Tuhan. Hubungan rakyat (kawula) dengan raja (gusti) dapat diibaratkan hubungan antara manusia (kawula namung sadermi) dengan Allah yang lengkapnya juga disebut gusti. Ketaatan rakyat terhadap raja haruslah mirip dengan ketaatan manusia terhadap Tuhan.
Penerapan Konsep Kekuasaan Jawa
Oleh Raja-Raja Mataram
Dinasti Mataram adalah dinasti yang muncul dari keluarga petani. Oleh karena itu untuk dapat diterima rakyat, para raja dari dinasti ini terus berusaha memperlihatkan keunggulannya sebagai trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tadhaking adana warih.
Kekuasaan raja-raja Mataram sangat besar, karena itu terhadap raja rakyat hanya dapat menjawab “nderek ngarsa dalem” (terserah kepada kehendak raja). Dalam pewayangan kekuasaan besar seperti kekuasaan Mataram biasa digambarkan sebagai “gung binathara bau dhendha nyakrawati” (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum, dan penguasa dunia”).
Ciri-ciri yang terkandung dalam konsep keagungbinatharaan itu pada zaman Mataram berkembang lebih lanjut dalam bentuk penggunaan gelar-gelar yaitu panembahan, sunan, dan sultan yang diikuti oleh kalimat “senapati ing ngalaga sayidin panatagama khalifatullah”.
Konsep yang terkandung dalam doktrin atau ajaran kegungbinatharaan, raja dikatakan “wenang wisesa ing sanagari” (memegang kekuasaan tertinggi diseluruh negeri). Sepintas, konsep tersebut memberi kesan bahwa raja bersifat sewenang-wenang. Namun tidak demikian karena kekuasaan raja yang besar harus diimbangi oleh ketentuan bahwa raja harus bijaksana, bersifat adil dan menjaga keteraturan dan ketentraman hidup rakyat.
Memegang kekuasaan tertinggi, ternyata tidak menjamin raja bebas dari ancaman dan pemberontakan. Untuk meyakinkan diri bahwa kedudukan raja sah dan aman dari ancaman, raja-raja Mataram perlu menunjukkan hal-hal yang dapat mendkung kedudukan mulia dn kekuasaan besar yang dipegangnya. Hal-hal tersebut dapat berupa restu dari leluhur dan benda-benda pusaka. Pada zaman Senapati baru saja mendirikan kerajaan Mataram, ia mendapatkan pusaka berupa baju dari Sunan Kalijaga yang terkenal dengan nama “kotang Antakusuma”. Menurut kepercayaan, bila senapati berhasil meperoleh pakaian tersebut, i akan lestari menjadi raja.
Pusaka lain yang terkenal sejak berdirinya Mataram adalah tombak Kyai Plered. Dengan tombak ini, Pangeran Puger (Paku Buwono I) berhasil membunuh Kapten Tack. Kemudian dengan pusaka Kyai Plered pula, Pangeran Mangkubumi berhasil dalam perjuangannya mendirikan Kasultanan Yogyakarta.
Menurut doktrin keagungbinatharaan, kekuasaan raja Mataram harus merupakan ketunggalan yang utuh dan bulat. Kekuatan tersebut tidak tersaingi dan tidak terkotak-kotak dan merupakan satu keseluruhan (tidak hanya bidang-bidang tertentu).
Masyarakat Jawa dalam hubungannya dengan raja dalam konsep kekuasaan Jawa berbentuk jumbuhing kawula-gusti (manunggalnya rakyat dan raja). Dalam sistem politik patrimonial di Mataram, hubungan rakyat (kawula) dengan raja (gusti) dapat diibaratkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, khususnya kemiripan dalam aspek ketaatan.
Kepercayaan yang tercermin dalam ajaran keagungbinatharaan seperti diterangkan diatas masih hidup dikalangan masyarakat Yogyakarta sampai saat ini. Sri Sultan yang dipandang memiliki sifat “sung binathara bau dhendha nyakrawati”, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta, masih dipertahankan sebagai Gubernur/ Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar