Jumat, 05 Maret 2010

KEBUDAYAAN DI NEGARA JEPANG (WAKATA YURUSHI NO NIPPON)

Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang berbentuk garis melengkung yang terbentang dari timur laut ke barat di lautan bagian timur benua Asia. Luas wilayah kurang lebih 370.000 km2, hanya kurang lebih 1/27 luas daratan Cina atau 1/5 Indonesia .

Perjalanan panjang sejarah Jepang yang mengalir dari waktu ke waktu, membekas dalam meninggalkan beragam kebudayaan indah yang sampai saat ini masih bisa dinikmati. Sepanjang sejarahnya, Jepang telah banyak menyerap banyak gagasan dari negara-negara lain termasuk teknologi, adat istiadat dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan. Jepang telah mengembangkan budayanya yang unik sambil mengintegrasikan masukan-masukan dari luar tersebut .

Sejarah manusia di kepulauan Jepang, seperti di negara-negara lain di seluruh dunia, dimulai dengan Zaman Batu. Telah lama diakui secara umum bahwa alat-alat batu yang mirip dengan alat-alat serupa dari Zaman Neolitikum di Eropa terdapat di Jepang, dan bahwa tidak terdapat peninggalan dari Zaman Paleolitikum. Akan tetapi sekitar akhir tahun 1940an, penyelidikan arkeologi mulai menemukan bukti adanya alat-alat Paleolitikum di Jepang. Kapak genggam, pisau, dan serpih-serpih tajam serta alat-alat batu yang berkeping-keping primitif ditemukan dalam lapisan batu Pleistosen, dan sekarang tempat-tempat serupa telah ditemukan di daerah-daerah tertentu di seluruh Jepang. Alat-alat ini membuktikan bahwa manusia telah hidup di kepulauan Jepang selama berpuluh ribu tahun. Tetapi orang-orang yang hidup di Zaman Batu tidak mengenal pembuatan alat-alat dari tanah liat, dan karenanya para ahli menamakan kebudayaan ini “kebudayaan pra-tembikar” .

Kebudayaan yang tertua di Jepang mula pertama berpusat di Yamato. Pada masa ini kebudayaan Jepang masih bersahaja. Kota-kota belum muncul, rumah-rumah dibangun secara bersama-sama . Sesuai dengan keadaan alamnya, orang-orang Yamato sudah pandai berlayar menggunakan perahu-perahu kecil, sehingga pelayaran dan perdagangan sudah mereka kenal. Alat penukar (uang) belum mereka kenal, sehingga perdagangan dilakukan secara barter. Yang diperdagangkan ialah hasil-hasil pertanian, alat-alat rumah tangga dari tanah liat dan alat-alat perang yang masih sederhana. Alat-alat perang diperdagangkan, karena negara selalu diliputi oleh suasana perang saudara. Masyarakat juga telah mengenal pakaian dari serat rami dan kulit kayu. Sebagai makanan pokok bukan nasi melainkan ikan.

Pada zaman bakufu Kamakura menghasilkan kebudayaan dengan menggabungkan unsur-unsur kebudayaan samurai yang baru bangkit pada kebudayaan istana. Dapat dikatakan bahwa hal ini berarti kebangkitan kembali kebudayaan asli Jepang sebagai lawan kebudayaan corak T’ang, karena pandangan hidup sederhana yang tradisional dalam lingkungan pertanian sekarang ditampilkan pada permukaan sejarah oleh para samurai yang berasal dari lingkungan itu.

Pada zaman Muromachi kesusastraan bangsawan tradisional mengalami kemunduran, tetapi kesusastraan rakyat biasa mulai muncul dalam bentuk-bentuk seperti renga (sajak berantai), otogizoshi (cerita populer), drama No dan komedi kyogen. Sajak-sajak berantai tersebut diciptakan secara bersama, baris demi baris, oleh beberapa orang yang berkumpul untuk maksud itu. Otogi-zoshi merupakan cerit-cerita pendek sederhana yang didasarkan atas kehidupan orang biasa. Drama No merupakan perkembangan dari bentuk sarugaku, drama bisu yang jenaka, digabung dengan unsur-unsur dari berbagai bentuk drama lain. Kyogen merupakan adegan lucu yang mengandung kritik yang dipertunjukkan sebagai selingan dalam drama No yang lebih serius. Banyak diantara kyogen itu menertawakan para daimyo dan pendeta dari sudut pandangan rakyat biasa.
Kebudayaan dari luar yang banyak berpengaruh di negara Jepang ialah dari negeri Cina (sebagai negara tetangga terdekat yang peradabannya oleh Jepang dianggap lebih tinggi) dan India walaupun hanya terbatas pada masalah agama saja, yakni agama Buddha . Berbagai cabang kebudayan tersebut adalah:

1. Kesusastraan
Pengaruh dalam bidang ini dirasakan sangat besar, karena pada dasarnya masyarakat Jepang mengagumi kebudayaan Cina. Dalam bidang kesusastraan tampak pada dua hal yakni bentuk-bentuk tulisan dan filsafat Cina
Salah satu contohnya yakni pada masa kekuasaan Michigana beberapa pengarang wanita berbakat menciptakan zaman emas kesusastraan Jepang. Kesusastraan Jepang, khususnya bentuk waka (sajak klasik yang terdiri atas tiga puluh satu suku kata) semakin maju sejak akhir abad kesembilan. Selain waka juga terdapat novel, essai, dan sebagainya mulai ditulis oleh pria dan wanita. Yang sangat terkemuka di antara penulis wanita ialah Murasaki Shikibu dan Sei Sonagon , dua orang dayang-dayang di istana pada masa Michigana.
2. Kesenian
Dalam bidang kesenian yang tampak menonjol ialah seni bangunan. Hal ini sebenarnya karena pengaruh agama Buddha, yang telah begitu kuat di Jepang. Kuil-kuil Buddha banyak didirikan dengan motif/ model seperti yang ada di daratan Asia. Seni lukis tampak misalnya pada gambar-gambar Sang Buddha Gautama atau lukisan-lukisan yang menggambarkan kepercayaan bangsa Jepang. Begitu juga dengan seni patung tampak di berbagai daerah, seperti patung-patung Buddha dan sebagainya. Dalam kerajinan tangan, seperti membuat atau menenun kain halus juga masih kelihatan jelas pola-pola Cina dan Korea.
3. Keagamaan
Dalam bidang agama orang Jepang bukan pencipta yang pertama, tetapi mereka sangat taat kepada agama. Pada umumnya rakyat Jepang bebas memilih kepercayaan mereka baik yang asli maupun yang dating dari luar negeri. Kepercayaan mereka yang asli masih sangat sederhana.
Karena pengaruh dari luar (Asia) agama yang sederhana itu banyak berubah. Setelah agama Buddha masuk ke Jepang pada abad ke-6 (552 M), maka agama asli yang semula diberi nama Shinto, dalam bahasa Cina berarti “the way of the God” (jalan para dewa).
Agama Buddha dapat berkenbang dengan baik, berkat adanya perlindungan dari para kaisar, bangsawan serta para pemimpin feodal, lebih-lebih pada masa Shotoku, agama Buddha berkembang dan menyebar dengan pesat. Bersamaan dengan agama Buddha, terjadilah perkembangan kebudayaan Buddha. Kuil-kuil besar dari Pagoda motif Cina mulai di bangun di Jepang.

Menjelang runtuhnya kekuasaan Tokugawa, agama Buddha mulai kehilangan kepercayan dari bangsa Jepang, khususnya dari generasi mudanya. Golongan terpelajar umumnya cenderung menerima Konfusianisme yang berasal dari daratan Cina. Konfusianisme telah menjadi faktor yang menentukan di dalam kehidupan dan cara berpikir bangsa Jepang . Konfusianisme memberikan pengaruh sampai zaman modern ini, patuhan anak terhadap orang tua, istri terhadap suami, ketaatan hamba kepada tuannya.
Seni pertunjukan tradisional yang masih bertahan di Jepang dewasa ini antara lain kabuki, noh, kyogen, dan bunraku.

 Kabuki
Kabuki adalah sebuah bentuk teater klasik yang mengalami evolusi pada awal abad ke-17. Ciri khasnya berupa irama kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh para aktor, kostum yang indah, make up yang mencolok (kumadori). Make up menonjolkan sifat dan suasana hati tokoh yang dibawakan aktor. Kebanyakan lakon mengambil tema masa abad pertengahan atau zaman Edo, dan semua aktor, sekalipun yang memainkan peranan wanita, adalah pria.
 Noh
Telah disebutkan diatas bahwa Noh adalah bentuk teater musikal yang tertua di Jepang. Penceritaan tidak hanya dilakukan dengan dialog tapi juga dengan utai (nyanyian), hayashi (iringan musik), dan tari-tarian. Ciri khas lainnya adalah sang aktor utama yang berpakaian kostum sutera bersulam warna-warni, dan mengenakan topeng kayu berlapis lacquer. Topeng-topeng itu menggambarkan tokoh-tokoh seperti orang yang sudah tua, wanita muda atau tua, dewa, hantu, dan anak laki-laki .
 Bunraku
Bunraku yang menjadi populer sekitar abad ke-16, merupakan jenis teater boneka yang dimainkan dengan iringan nyanyian bercerita dan musik yang dimainkan dengan shamisen (alat musik petik bedawai tiga). Bunraku dikenal sebagai salah satu bentuk teater boneka yang paling halus di dunia .
 Kyogen
Kyogen adalah sebuah bentuk teater klasik lelucon yang dipagelarkan dengan aksi dan dialog yang amat bergaya. Ditampilkan disela-sela pagelaran Noh, meski terdakang ditampilkan secara tunggal.
 Ikebana
Seni merangkai bunga Jepang (ikebana), yang mengalami evolusi di Jepang selama tujuh abad, berasal dari sajian bunga Budhis di masa awalnya.
Seni ini berbeda dengan penggunaan bunga yang murni bersifat dekoratif saja, karena setiap unsur dari sebuah karya ikebana dipilih secara sangat cermat termasuk bahan tanaman, wadah dimana ranting dan bunga akan ditempatkan, serta keterkaitan ranting-ranting dengan wadahnya dan ruang sekitarnya .
Mengenai sikap Jepang terhadap kebudayaan asing, yang perlu dicatat bahwa Jepang bukanlah penjiplak semata-mata . Karena takut dicap sebagai “orang biadab”, maka setiap kali ada pengaruh asing yang mereka terima, lalu diubah, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan bangsa Jepang. Hal ini sesuai dengan semboyan bangsa Jepang yang berpegang pada prinsip: adapt, adopt, invent yang berarti: meniru, menyesuaikan dan mencipta.
Sepanjang waktu mereka terus merubah apa yang mereka terima dari luar dan berusaha memperkaya kebudayaa mereka. Hal ini dijalankan sampai sekarang. Bangsa Jepang selalu berusaha sedapat mungkin untuk menyamai kebudayaan dari negara-negara yang telah maju.

Kebudayaan Jepang telah banyak berubah dari tahun ke tahun, dari kebudayaan asli negara ini, Jomon, sampai kebudayaan sekaarang, yang mengkombinasikan pengaruh Asia, Eropa, dan Amerika Utara. Setelah beberapa gelombang imigrasi dari benua lainnya dan sekitar kepulauan Pasifik, diikuti dengan masuknya kebudayaan Tiongkok, penduduk Jepang mengalami periode panjang isolasi dari dunia luar dibawah Shogunat Tokugawa sampai datangnya “The Black Ship” dan era Meji. Sebagai hasilnya, kebudayaan Jepang berbeda dari kebudayaan Asia lainnya .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar