Jumat, 05 Maret 2010

Gapura Wringin Lawang

GAPURA WRINGIN LAWANG

§ SEJARAH SINGKAT KERAJAAN MAJAPAHIT

Sejarah kerajaan masa Hindu-Buddha di Jawa Timur dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama adalah raja-raja dari kerajaan Kediri yang memerintah sejak abad ke-10 M hingga tahun 1222 M. Periode kedua dilanjutkan oleh pemerintahan raja-raja dari masa Singasari yang memerintah dari tahun 1222 M hingga tahun 1293 M. Periode ketiga adalah masa pemerintahan raja-raja Majapahit yang berlangsung dari tahun 1293 M hingga awal abad ke-6.

Pendiri kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya. Ia merupakan raja pertama Majapahit dengan gelar Kertarajaya Jayawardhana. Pada awalnya pusat pemerintahan kerajaan Majapahit berada di daerah hutan Tarik. Karena di wilayah tersebut banyak ditemui pohon maja yang buahnya terasa pahit, kemudian kerajaan Raden Wijaya kemudian dinamakan “MAJAPAHIT”. Raden Wijaya memerintah dari tahun 1293 M sampai 1309 M.

Tampuk pemerintahan kemudian digantikan oleh Kalagemet yang merupakan putra Raden Wijaya dengan Prameswari. Kala itu usia Kalagemet masih relatif muda. Ia kemudian bergelar Jayanegara. Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi pemberontakan. Pada akhirnya tahun 1328 M Jayanegara terbunuh oleh tabib pribadinya yang bernama Tanca. Roda kekuasaan kemudian diambil alih oleh Rajapatni yaitu istri Raden Wijaya yang merupakan salah satu putri raja Kertanegara dari Singosari, bersama patihnya yang bernama Gajah Mada. Ia berhasil menegakkan kembali wibawa Majapahit dengan menumpas pemberontakan-pemberontakan yang terjadi. Rajapatni kemudian mengundurkan diri sebagai raja dan memilih menjadi pendeta Buddha. Tampuk pemerintahan kemudian diserahkan ke anaknya yang bernama Tribuana Wijayatunggadewi. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia dibantu oleh patih Gajah Mada. Majapahit kemudian tumbuh menjadi Negara yang besar dan termasyur baik di kepulauan nusantara maupun di luar negeri.

Pada tahun 1350 M Tribuana Tunggadewi kemudian meengundurkan diri dan diganti oleh Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mencapai masa keemasan hingga patih Gajah Mada meninggal pada tahun 1365 M. Terlebih ketika Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389, Negara Majapahit mengalami kegoncangan akibat konflik saudara yang saling berebut kekuasaan.

Pengganti Hayam Wuruk adalah putrinya yang bernama Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana. Sementara itu Wirabhumi, yaitu putra Hayam Wuruk dari selir menuntut juga tahta kerajaan. Untuk mengatasi konfllik tersebut, Majapahit dibagi menjadi dua bagian, yaitu: wilayah timur dikuasai oleh Wirabhumi dan wilayah barat dikuasai oleh Kusumawardhani. Namun ketegangan diantara keduanya masih berlanjut hingga kemudian terjadi perang “paregreg” (perang saudara) yang berlangsung dari tahun 1403 M hingga tahun 1406 M dan dimenangkan oleh Wikramawardhana yang menyatukan kembali wilayah Majapahit. Ia kemudian memerintah hingga tahun 1429 M. Wikramawardhana kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Suhita yang memerintah dari tahun 1429 M hingga 1447 M. Suhita adalah anak kedua Wikramawardhana dari selir. Selir tersebut merupakan putri Wirabhumi. Diharapkan dengan diangkatnya Suhita menjadi raja akan menghentikan persengketaan.

Ketika Suhita wafat, tampuk kerajaan digantikan oleh Kertawijaya yang merupakan putra Wikramawardhana. Pemerintahannya berlangsung singkat hingga tahun 1451 M. Sepeninggalnya Kertawijaya Bhre Pamotan kemudian menjadi raja bergelar Sri Raja Sawardhana dan berkedudukan di Kahuripan. Masa pemerintahannya sangat singkat hingga tahun 1453 M. Kemudian selama tiga tahun Majapahit mengalami “interregnum” yang mengakibatkan lemahnya pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Pada tahun 1456 M, Bhre Wengker kemudian tampil memegang kekuasaan kerajaan. Ia adalah putra raja Kertawijaya.

Pada tahun 1466 M, Bhre Wengker meninggal dan kemudian digantikan oleh Bhre Pandan Salas yang bergelar Singhawikramawardhana. Namun pada tahun 1468 M, Kertabumi menyatakan dirinya sebagai penguasa Majapahit di Tumapel, sedangkan Singhawikramawardhana kemudian menyingkir ke Daha. Pemerintaahan Singhawikramawardhana digantikan oleh putranya yang bernama Rana Wijaya yang memerintah dari tahun 1447 M hingga 1519 M. Pada tahun 1478 M ia mengadakan serangan terhadap Kertabumi dan berhasil mempersatukan Majapahit yang terpecah-pecah karena perang saudara. Rana Wijaya bergelar Grindrawardhana.

Kondisi kerajaan Majapahit yang telah rapuh dari dalam dan disertai munculnya perkembangan baru pengaruh Islam di daerah pesisir utara Jawa, pada akhirnya menyebabkan kekuasaan Majapahit tidak dapat dipertahankan lagi.

§ MENGENAL SITUS GAPURA WRINGIN LAWANG

Candi Wringin Lawang merupakan sebuah gapura megah yang terletak di desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi Wringin Lawang merupakan salah satu peninggalan kerajaan Majapahit yang masih berdiri hingga kini. Di situs ini dulunya tumbuh sepasang pohon beringin dan karena itulah disebut “Wringin Lawang”. Begitu besar dan megahnya bangunan ini maka sering disebut candi (sedangkan tipe bangunan yang masuk definisi candi sebenarnya adalah tempat pemujaan).

Karena pernah digerus oleh alam dan jaman, salah satu sisi gapura pernah mengalami kerusakan yang parah. Pemugaran dilakukan sekitar tahun 1990an dengan menggunakan batu bata dan ditambah dengan penangkal petir. Bangunan Gapura Wringin Lawang ini berbentuk candi bentar, dan dalam keadaan polos tanpa hiasan. Maka dari itu Gapura Wringin Lawang diyakini sebagai salah satu pintu masuk ke kompleks keraton Majapahit.

§ MENGANALISIS PENINGGALAN PURBAKALA MASA KERAJAAN MAJAPAHIT KHUSUSNYA MENGENAI SITUS GAPURA WRINGIN LAWANG

  1. Lokasi Gapura Wringin Lawang

Lokasi : Dukuh Wringin Lawang, Desa Jati Pasar, Kec. Trowulan, Kab. Mojokerto, Jawa Timur.

Bahan : bata

Ukuran : panjang = 13,7 M

Tinggi : 15,5 M

Lebar : 11,50 M

Dari jalan raya Mojokerto-Jombang masuk ke arah selatan sekitar 200 M. Jarak dari Surabaya ±68,5 KM. Disebut Wringin Lawang karena terdapat lawang dalam gapura dan pohon beringin disampingnya. Dalam istilah kepurbakaan bentuk gapura disebut candi bentar. Para ahli mengatakan Gapura Wringin Lawang berfungsi delegasi salah satu pintu masuk menuju kompleks keraton kerajaan Majapahit.

“Wringin Lawang”

Keagungan karya arsitektural Majapahit yang dapat kita saksikan kini tidak lain merupakan cerminan dari kemampuuan mewujudkan simbol dan spirit religius dewa-raja melalui perpaduan keunggulan teknologi rancag bangun dan kesenian. Sosoknya hadir dalam percandian yang dipersembahkan sebagai pendarmaan bagi raja, titisan dewa, yang mangkat.

Salah satu peninggalan arsitektural yang megah dan berdiri kokoh adalah Gapura Wringin Lawang yang disebut juga sebagai candi Jati Pasar karena letaknya berada di desa Jati Pasar. Hal ini dikemukakan oleh Raffles dalam History of Java I tahun 1815. Sementara menurut cerita Knebel tahun 1907 menyebutkan sebagai Gapura Wringin Lawang karena bentuknya seperti pintu (lawang) dan di dekatnya tumbuh sepasang pohon beringin.

  1. Ukuran dan Bahan Bangunan Gapura Wringin Lawang

Gapura yang diyakini sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Majapahit ini, selain anak tangga yang terbuat dari batu, bangunan agung ini terbuat dari bata merah dan dalam keadaan polos tanpa hiasan. Bangunan Gapura Wringin Lawang yang tersusun dari susunan bata kini menjadi platform gapura di Jawa Timur. Sebuah ciri arsitektur Vernakular yang bertahan berabad-abad lamanya. Gapura Wringin Lawang menempati areal tanah seluas 616 M2. Bentuk gapura adalah candi bentar dengan denah empat segi panjang berukuran panjang 13 m, lebar 11,5 m, dan tinggi 15,50 m. Sedangkan orientasi bangunan mengarah timur-barat dengan azimuth 2790.

Jarak antara dua bagian gapura selebar 3,5 m dengan sisa-sisa anak tangga pada sisi timur dan barat. Diperkirakan anak tangga ini semula dibatasi oleh pipi tangga. Dari hasil penggalian arkeologis pada sebelah utara dan selatan gapura, terdapat sisa struktur bata yang mungkin merupakan bagian dari tembok keliling. Pada bagian tertentu gapura telah di konsolidasi (tambal sulam). Karena digerus oleh alam dan jaman, salah satu sisi gapura Wringin Lawang rusak parah dan dilakukan pemugaran sekitar tahun 1990. Sebelum dipugar gapura sisi utara sebagian tubuh dan puncaknya telah hilang, tersisa tinggal setinggi 9 m. Namun gapura ini telah utuh kembali setelah dipugar pada tahun anggaran 1991/ 1992 s.d 1994/ 1995.

Dalam penelitian arkeologis baik dalam bentuk survey maupun penggalian di halaman barat daya gapura ditemukan 14 buah sumur. Bentuk sumur ada dua macam yaitu : silindrik dan kubus. Dinding sumur untuk bentuk silindrik menggunakan bata lengkung. Sedangkan untuk sumur yang berbentuk kubus menggunakan bata berbentuk kubus. Pada sumur yang berbentuk silindrik dijumpai pula dinding sumur yang menggunakan jobong (semacam bis beton yang terbuat dari tera kota). Penempatan sumur di muka rumah sampai saat ini masih banyak dijumpai dirumah-rumah tradisional.

  1. Teknik Pembuatan Gapura Wringin Lawang

Gerbang ini lazim disebut bergaya “candi bentar” (candi terbelah dua). Akan tetapi gerbang ini bukanlah candi melainkan gapura yang memang serupa benar dengan candi, akan tetapi seolah-olah dibelah menjadi dua bagian yang sama, dari atas ke bawah sama bentuk dan kemudian diletakkan renggang bagian atap tidak tertutup. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.

Material pembuatan bangunan gapura ini terbuat dari batu pada bagian anak tangganya dan bata merah pada bagian lainnya. Proses pembuatannya jauh berbeda denngan jaman sekarang. Dalam proses pembuatannya meliputi :

۩ Pemilihan tempat sumber tanah liat yang diambil

۩ Pengayaan sampai selembut tepung

۩ Pencetakan

۩ Pembakaran juga dituntut lebih dimana warna batu bata menuntut warna yang sama, maka kita tidak melihat warna hitam karena gosong disalah satu permukaannya.

۩ Setelah batu bata jadi adalah proses penyatuan batu bata menjadi struktur candi yang meliputi penggosokan satu sama lain sehingga resiko perembesan air benar-benar diperhatikan dan penyatuannya menggunakan campuran beberapa bahan alam antara lain putih telur dan tetes tebu.

  1. Filosofi Gapura Wringin Lawang

a. Bentuknya yang menyerupai puncak gunung, merupakan perlambangan dari gunung “Mahameru” yang diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa.

b. Terbelah menjadi dua, kanan-kiri, atas-bawah, terang-gelap lambang laki-laki dan perempuan, lambang kesuburan, penciptaan dan adanya konsep dualisme (keseimbangan)

c. Pada gapura jikalau dilihat dari sisi luar, terdapat gapura kecil menempel pada bagian induk. Gapura kecil digambarkan sebagai gerbang yang dimiliki rakyat dan yang lebih besar merupakan gerbang milik raja. Dengan demikian arti yang terkandung adalah kebijaksanaan raja jauh lebih besar daripada kekuasaan rakyat namun rakyat seutuhnya dibawah perlindungan kekuatan dan kebijaksanaan raja.

  1. Perbandingan Gaya Langgam Candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur Serta Kaitannya dengan Gapura Wringin Lawang

Skala gigantris dari gapura ini mengakibatkan banyak orang menafsirkan sebagai candi, yang menunjukkan kredibilitas kerajaan yang memunculkan nama tenar seperti Hayam Wuruk dan Tribuana Tunggadewi.

Kitab Negarakertagama menyebutkan 27 buah percandian, tetapi hanya beberapa diantaranya yang masih dapat kita kenali hingga saat ini seperti candi Singosari, candi Kidal, candi Jago, candi Jawi dan candi Simping. Ciri yang menyertai percandian Majapahit adalah kaki candi yang tinggi bertingkat dengan tubuh candi dibalut bingkai melingkar dan atap candi yang tinggi menyita atap candi. Sedangkan arsitektur Majapahit dari bangunan profan (bukan bersifat religius) adalah gapura, pentirtaan dan kolam, seperti halnya Gapura Wringin Lawang.

Menurut Dr. W.F Stutterheim dan Dr. H.J Kroen nama candi merupakan kependekan dari “candika” yaitu salah satu nama dari Dewi Durga. Perbandingan gaya atau langgam candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah sebagai berikut :

No

Langgam Jawa Tengah

Langgam Jawa Timur

1

Bentuk bangunan tambun

Bentuk bangunan ramping

2

Atapnya berundak-undak

Atapnya merupakan perpaduan tingkatan

3

Puncaknya berbentuk Ratna/stupa

Puncaknya berbentuk kubus

4

Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara

Makara tidak ada, pintu dan relung atas diberi kepala kala.

5

Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis

Reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit

6

Letak candi di tengah halaman. Kebanyakan menghadap ke timur.

Letak candi agak di bagian belakang. Kebanyakan menghadap ke barat.

7

Bahan candi batu andesit

Bahan candi kebanyakan dari bata

  1. Spekulasi Fungsi Asli Gapura Wringin Lawang

Dugaan mengenai fungsi asli Gapura Wringin Lawang masih mengundang banyak spekulasi, diantaranya adalah :

1. penafsiran paling populer menyebutkan bahwa Gapura Wringin Lawang merupakan pintu gerbang untuk memasuki kompleks keraton kerajaan Majapahit,

2. penafsiran yang kedua adalah menyebutkan bahwa gerbang ini merupakan jalan masuk ke kediaman Maha Patih Gajah Mada.

Dalam makalah ini kami akan mengkaji penafsiran yang paling populer terlebih dahulu mengenai Gapura Wringin Lawang sebagai pintu gerbang untuk memasuki kompleks keraton kerajaan Majapahit. Spekulasi mengenai hal ini masih menjadi perdebatan, mengingat pusat centris kerajaan Majapahit belum ditemukan secara pasti.

Jika Gapura Wringin Lawang merupakan pintu masuk pusat keraton Majapahit tentunya jarak bangunan satu dengan yang lain berjauhan, minimal dapat dilewati dua kereta kuda sekaligus dan tentunya kita akan berpikir dimana posisi pejalan kakinya. Selain itu undak-undakan anak tangga tentunya khusus pejalan kaki. Dengan demikian untuk seukuran keraton Majapahit yang daerah kekuasaannya sanpai di daerah Kamboja sedikit aneh memiliki gapura sekecil itu untukk ukuran cakupan daerah kekuasaan.

Anggapan Gapura Wringin Lawang adalah tempat penyambutan tamu kerajaan. Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Jika daerah ini merupakan tapal batas negoro dengan monco negoro, maka apabila ada tamu raja yang hendak ngabulu bekti atau melaporkan hal-hal penting, tentunya proses ini tidak berjalan cepat. Dahulu pasti dilakukan oleh sekelompok orang yang mengendarai kereta kuda dari jauh bersama para pengikutnya, ada yang naik kuda, bahkan ada juga yang berjalan kaki. Jika hal itu kita gambarkan kita dapat membayangkan betapa ributnya saat itu untuk sebuah kompleks Trowulan yang dihitung sebagai kompleks kerajaan yang diukur dengan 9x11 Km, lalu bagaimana apabila ketika itu ada upacara besar dimana dihadiri semua raja telukan. Mungkin Gapura Wringin Lawang ini merupakan tempat penyambutan resmi raja keluar dan kembali dari monco nagari. Hal ini didukung juga dengan adanya undak-undak atau tangga digerbang tersebut. Dengan demikian tidak semua orang diperkenankan memasuki tempat diantara kedua bangunan tersebut, dan tentunya disamping-samping gapura tersebut terdapat jalan yang lebar dengan struktur sama modernnya dengan teknik pembuatan gapura tersebut.

Penafsiran yang kedua adalah mengenai gerbang itu merupakan jalan masuk ke kediaman Maha Patih Gajah Mada. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut :

Pada suatu kompleks kerajaan besar, pada umumnya keraton terletak disebelah utara dan sebelah selatan untuk pemukimam rakyatnya, jika Gapura Wringin Lawang dihubungkan dengan gapura masuk ke ibu kota Majapahit yang terletak disebelah utara . Bila demikian tentunya ambang gapura harus menghadap utara-selatan. Sedangkan arah hadap Gapura Wringin Lawang ini timur-barat, sehingga diduga merupakan pintu masuk menuju kepatihan. Sebab lain menghadap timur-barat, letaknya dekat dengan pasar dan terpisah dari keraton. Selain itu disekitar situs ini pernah ditemukan tera kota topeng yang bentuknya menyerupai wajah Patih Gajah Mada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar